Siang itu saya melintasi rumah kuno di
pinggiran gang itu. Rumah kuno yang dulunya ditempati oleh seorang wanita
renta, serenta rumah itu sendiri. Rumah nenek saya, ibu dari bapak saya. Saat
melintasinya tiba-tiba terlintas kenangan yang hampir memudar, kenangan manis
yang terjadi saat rumah itu masih bersih dan rapi, tidak seperti sekarang yang
kosong dan hampir hancur dengan tanaman marksia yang merambat di seluruh pagar
kayunya. Saya teringat sore hari di teras samping rumah itu. Di sana saya dan beberapa
sepupu, yang saat itu masih kecil sekitar kelas 2 SD, selalu bercengkrama
bersama beberapa tetangga. Terasa ramai dan menyenangkan sekali. Tak jarang
sore hari saya habiskan dengan berjuang keras mencabuti uban nenek hanya demi
mendapatkan uang lima
ratus rupiah yang akan dengan mudah berubah menjadi es lilin ataupun beberapa
bungkus keripik dan cokelat.
Ya, seperti sore ini, sinar matahari yang
hangat selalu menyertai kami saat bermain di halaman rumah itu, seakan sang
mentari ingin merajut cerita dan bercengkrama dengan kami. Kami bermain dengan
semangat meski kadang omelan nenek tentang ini itu memenuhi udara sore itu.saya
juga teringat bagaimana nenek saya dengan tubuh gemuknya membungkuk-bungkuk
dengan susah payah demi menyapu halamannya dari daun-daun mangga yang rontok
terkena angin. Setelah selesai, dengan tertatih-tatih beliau duduk di sebuah
bangku panjang di teras itu, memperhatikan orang yang berlalu-lalang sambil
sesekali menyapa. Khas masyarakat yang tinggal di dalam gang kecil.
Saat sudah agak besar, sekitar SMP, tante
saya yang dulunya masih tinggal bersama nenek memutuskan pindah ke rumahnya
sendiri. Praktis nenek saya tinggal sendiri di rumah itu. Tak jarang saya
menemaninya di saat malam menjelang lalu kembali pulang saat beliau beranjak
tidur. Setiap sore seperti ini, dengan sinar matahari hangat memayungi seluruh
gang itu, nenek saya dengan setia seperti memenuhi jadwalnya sendiri duduk di
bangku panjang dengan seikat sapu lidi bertengger di sampingnya, menandakan
bahwa beliau baru saja merampungkan jadwalnya yang lain, menyapu dedauan si
pohon mangga. Hampir semua orang yang berlalu-lalang di sana pasti menyapa beliau, entah hanya
sekedar tersenyum, menanyakan kabar, hingga pmembahas arisan bulan depan di
rumah siapa. Bila tidak ada kegiatan, saya pergi ke rumah itu, yang jaraknya
tidak sampai lima
ratus meter dari rumah saya. Saya senang duduk menemani beliau, sambil
mendengarkan cerita beliau tentang masa muda bapak saya ataupun nasehat-nasehat
bagaimana menjadi wanita yang baik. Saya senang memperhatikan bola mata nenek
yang telah memudar warnanya karena usia menjadi biru muda keabu-abuan. Meski
begitu, penglihatan nenek saya masih cukup tajam untuk melihat siapa yang ada
di seberang jalan di luar gang. Setelah bercerita panjang lebar, beliau dengan
hati-hati merogoh kutangnya dan mengeluarkan bungkusan dari sapu tangan biru
muda dengan garis-garis di sepanjang tepiannya. Ditariknya keluar dua lembar lima ratusan dan
menyuruhku membeli bakso dengan rombong warna kuning yang selalu stand by di depan gang. Ya, dua lembar lima ratusan untuk dua
mangkok bakso. Sangat murah kan?
Kadang di malam hari saya menemani beliau
menonton tivi, lalu beliau masuk kamar dengan terseok-seok dan memanggil saya
untuk menginjak-injak punggungnya. Memang, nenek saya tergolong hebat, dengan
usia yang sudah tidak muda seperti itu beliau masih kuat untuk merasakan
injakan di punggungnya. Meskipun badan saya memang terbilang kurus untuk anak
seusia saya, tapi tetap terasa agak menakutkan untuk menginjak-injak (dengan
maksud pijatan) punggung seorang wanita renta. Tetapi ya, itulah nenek saya.
Lalu setelah dirasanya cukup, beliau menyuruhku menyudahi injakan dan beliaupun
segera merogoh bawah bantal, tepat bungkusan sapu tangan itu. Beliau
menyodorkan selembar uang ribuan padaku sembari berkata, “Buat jajan besok di
sekolah ya”. Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih lalu beranjak pulang
karena setelah diinjak-injak (a.k.a dipijit) nenek pasti tertidur.
Rumah kuno itu menyimpan berjuta kenangan
tentang bagaimana nenek menjalani masa-masa tuanya bersama beberapa cucunya
yang selalu merecokinya dengan pertengkaran-pertengkaran kecil. Saya ingat
ketika nenek marah besar tatkala mengetahui saya dan dua orang sepupu laki-laki
saya membuat hujan salju dari robekan-robekan kertas kecil. ‘Salju’ itu kami
tempatkan di sebuah keranjang kecil lalu kami gantung di dahan terendah pohon
mangga di halaman menggunakan tali. Dengan semangat kedua sepupu saya meniupnya
sambil memutar-mutar keranjang tersebut uang mengakibatkan ‘salju’ itu berhamburan
ke mana-mana. Dan saya dengan senang hati berjingkrak-jingkrak menari di bawah
hujan salju itu. Setelah merasa bosan, kami pun melenggang masuk untuk menonton
tivi. Tak disangka nenek marah besar melihat salju berkeleleran di halamannya,
yang ternyata baru selesai di sapu! Bisa ditebak apa yang terjadi kemudian;
kami bertiga menyapu salju itu diiringi omelan nenek kami. Sungguh menyenangkan
mengingat masa-masa itu. Masa ketika rumah kuno itu berdiri tegak dengan
sejumlah tikus menghuni plafonnya, dengan lantai keramik putihnya yang selalu
licin di sapu nenek, dengan lorongnya yang dingin dan kadang terasa
menyeramkan.masa ketika setiap hari raya Idul Fitri kami dan semua kerabat
selalu berkumpul di rumah itu seusai sholat Ied. Kami semua bergiliran sungkem ke nenek dan saling bersalaman
satu sama lain, lalu saya dan beberapa sepupu yang seumuran mulai mendapatkan
apa yang diharapka; uang angpao. Rumah itu selalu ramai saat hari raya seperti
itu, anak-anak kecil berebut kue kering dan angpao, orang-orang dewasa sibuk
bermaaf-maafan dan bercengkrama dengan orang-orang yang mereka kenal yang telah
lama tak berjumpa. Masa-masa yang sangat menyenangkan.
Entah kenapa walaupun bersih dan rapi, saya
tidak pernah kerasan untuk menginap di sana.
Pernah suatu waktu saya terpaksa menginap di sana karena rumah bapak saya sedang di bangun
di beberapa sisinya. Akhirnya saya menginap di rumah nenek dan tidur bersama
seorang kakak saya. Sebelum tidur kami bercanda ngalor ngidul, lalu beberapa menit
kemudian terdengan dengkur lembut kakak saya, tinggallah saya sendirian
berkedip-kedip menatap plafon yang penuh dengan suara gaduh para tikus yang
mungkin sedang memperebutkan makanan. Tik,tik,tik, detik jam dinding menemani
saya yang masih terjaga, tidak tahu harus berbuat apa. Kamar itu terasa dingin,
sunyi dan menyeramkan, membuat saya merasa tidak nyaman, khas sekali rumah
kuno. Sampai beberapa jam saya tetap terjaga, membolak-balik tubuh saya ke kiri
ke kanan, menebak-nebak adakah seseorang atau sesuatu yang sedang menatap saya.
Kamar itu dingin karena atap rumah itu tinggi, dindingnya pun terasa lembab,
tetapi badan saya basah kuyup karena keringat. Akhirnya, entah pukul berapa, saya
pun terlelap karena kelelahan menahan tubuh saya yang tegang dan
berdebar-debar. Setelah itu saya tidak mau lagi menginap di sana, hahahaa…
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana
nenek bisa melewatkan hari-harinya sendirian di rumah itu. Nenek saya memang
berkeras untuk tetap tinggal di sana,
padahal beberapa kerabat, termasuk bapak saya, menawarkan nenek untuk pindah
dan tinggal bersama. Nenek tetap bergeming. Rumah itu seakan tidak bisa
dipisahkan dari hidupnya. Oleh karena itu saya sering mengunjunginya dan
menemani nenek sampai malam, sampai beliau terlelap dan menyuruhku pulang. Beliaupun
selalu mencuci sendiri baju-bajunya (kebaya dan kain jarik / sewek dalam bahas
Jawa), padahal beliau harus menimba dulu dari sumur di dekat dapur. Tetapi
beliau malah marah bila dilarang mengerjakan semuanya itu sendiri. Lalu kerabat
saya memasangkan sebuah pompa air demi mempemudah pekerjaan nenek, tapi pompa
itupun hanya dipakai sesekali saja oleh nenek. Hhh….benar-benar wanita yang
keras kepala yah..
Lalu suatu waktu, mungkin karena merasa
sudah terlalu tua, nenek sewring menginap di tante saya diantar dengan becak
langganannya, dengan alasan mau menemani tante karena memang suaminya baru
meninggal. Akhirnya nenek pun memutuskan tinggal di sana dan semua barangnya dipindahkan ke rumah
tante. Praktis, rumah kuno itu terbengkalai, tidak ada yang menempati. Beberapa
tahun berlalu, rumah itu menjadi semakin sunyi dan menyeramkan, tidak seperti
saat nenek masih di sana.
Kayu-kayu penyangga atapnya mulai rapuh dan plafonnya berjatuhan di lantai
keramik putih yang dulunya selalu mengkilap. Sumur di dekat dapu ditumbuhi
lumut tabal dan sarang laba-laba menghiasi setiap sudut rumah itu. Pohon mangga
di halamannya juga telah dipotong oleh bapakku karena memang sudah tua dan
berbahaya karena sewaktu-waktu bisa saja roboh. Sangat menyedihkan melihat
kondisi rumah itu mengingat berjuta kenangan yang merembes di seluruh
dindingnya.
Suatu hari terdengar kabar menyedihkan, nenek
tersayang saya menutup usia setelah seminggu berada di rumah sakit daerah. Nenek
menderita stroke dan entah setan apa yang merasuki, semua anak-anak nenek saya
ini saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab untuk merawat beliau. Saya
sempat menjenguknya di rumah sakit. Air mata meleleh saat melihat mata biru
muda keabu-abuan itu terkatup lemah, tubuh gemuk dan lincah yang dulu kini
berubah menjadi lemak menggelambir yang tergolek tak berdaya di atas kasur
rumah sakit. Beberapa hari setelah saya menjenguknya, nenek pergi meninggalkan
kami samua. Ada
rasa lega dan sedih yang bercampur di hati saya. Lega karena nenek tidak perlu
lagi merasa kesakitan dan sedih melihat anak-anaknya saling tuding atas
keadaannya itu. Sedih karena itu berarti saya tidak lagi bisa menikmati
semangkuk bakso bersama wanita gemuk bermata kelabu itu, tidak bisa lagi
mencabuti ubannya lalu mendapat upah lima
ratus rupiah. Tetapi saya sudah mengikhlaskan kepergiannya, karena saya yakin
itu memang yang terbaik untuk beliau.
Kemudian, siang itu tanpa sengaja saya
melewati rumah itu. Tua dan bobrok, dengan tanaman markisa yang menjalar liar
di sepanjang pagarnya. Beberapa asbesnya mengelupas dan terjatuh di lantai
putih itu, cat di kusennya pudar dan kusen-kusennya yang dulu kokoh pun keropos
dimakan rayap. Pohon mangga yang dulunya gagah dengan buahnya yang sangat
menggoda iman, kini diam tak bergerak menjadi potongan-potongan kayu besar di
pojok halaman rumah itu. Jendela-jendela dengan tirai putih yang dulu selalu
terbuka lebar kini tertutup rapat dan beberapa daun jendelanya hampir patah.
Seakan rumah tua itu menandakan kehancuran keluarga kami, beberapa kerabat
mulai terpecah-pecah dan saling acuh malah cenderung bermusuhan. Sedih
sesungguhnya melihat keadaan itu, kenangan manis di masa kanak-kanak pun hangus
entah ke mana. Tak ada lagi bermain bersama saudara di rumah itu, tak ada lagi
keriuhan tawa anak-anak belajar naik sepeda di selasar gang itu. Tak terasa
setitik air mata jatuh dari sudut mata saya saat melihat teras samping rumah
itu, yang dudlunya tempat kami bersenda gurau bersama nenek dan para tetangga,
hening sunyi senyap. Kini, tak aka nada lagi acara berkumpul bersama sanak
saudara setiap hari raya Idul Fitri di sana.
Semuanya pergi entah ke mana, kesibukan yang padat dengan cepat meniup
potongan-potongan kecil kenangan manis tentang rumah itu.
Terkadang saya masih berharap melihat nenek
tengah duduk di bangku itu dan menyambut kedatangan saya dengan senyumnya yang
lucu tanpa satu gigi pun tertinggal di mulutnya. Tetapi yang ada hanyalah hembusan angin sunyi yang menandakan
kehampaan rumah itu. Ah, sungguh perih rasanya…