Rabu, 02 Mei 2012

Rumah Tua


Siang itu saya melintasi rumah kuno di pinggiran gang itu. Rumah kuno yang dulunya ditempati oleh seorang wanita renta, serenta rumah itu sendiri. Rumah nenek saya, ibu dari bapak saya. Saat melintasinya tiba-tiba terlintas kenangan yang hampir memudar, kenangan manis yang terjadi saat rumah itu masih bersih dan rapi, tidak seperti sekarang yang kosong dan hampir hancur dengan tanaman marksia yang merambat di seluruh pagar kayunya. Saya teringat sore hari di teras samping rumah itu. Di sana saya dan beberapa sepupu, yang saat itu masih kecil sekitar kelas 2 SD, selalu bercengkrama bersama beberapa tetangga. Terasa ramai dan menyenangkan sekali. Tak jarang sore hari saya habiskan dengan berjuang keras mencabuti uban nenek hanya demi mendapatkan uang lima ratus rupiah yang akan dengan mudah berubah menjadi es lilin ataupun beberapa bungkus keripik dan cokelat.
Ya, seperti sore ini, sinar matahari yang hangat selalu menyertai kami saat bermain di halaman rumah itu, seakan sang mentari ingin merajut cerita dan bercengkrama dengan kami. Kami bermain dengan semangat meski kadang omelan nenek tentang ini itu memenuhi udara sore itu.saya juga teringat bagaimana nenek saya dengan tubuh gemuknya membungkuk-bungkuk dengan susah payah demi menyapu halamannya dari daun-daun mangga yang rontok terkena angin. Setelah selesai, dengan tertatih-tatih beliau duduk di sebuah bangku panjang di teras itu, memperhatikan orang yang berlalu-lalang sambil sesekali menyapa. Khas masyarakat yang tinggal di dalam gang kecil.
Saat sudah agak besar, sekitar SMP, tante saya yang dulunya masih tinggal bersama nenek memutuskan pindah ke rumahnya sendiri. Praktis nenek saya tinggal sendiri di rumah itu. Tak jarang saya menemaninya di saat malam menjelang lalu kembali pulang saat beliau beranjak tidur. Setiap sore seperti ini, dengan sinar matahari hangat memayungi seluruh gang itu, nenek saya dengan setia seperti memenuhi jadwalnya sendiri duduk di bangku panjang dengan seikat sapu lidi bertengger di sampingnya, menandakan bahwa beliau baru saja merampungkan jadwalnya yang lain, menyapu dedauan si pohon mangga. Hampir semua orang yang berlalu-lalang di sana pasti menyapa beliau, entah hanya sekedar tersenyum, menanyakan kabar, hingga pmembahas arisan bulan depan di rumah siapa. Bila tidak ada kegiatan, saya pergi ke rumah itu, yang jaraknya tidak sampai lima ratus meter dari rumah saya. Saya senang duduk menemani beliau, sambil mendengarkan cerita beliau tentang masa muda bapak saya ataupun nasehat-nasehat bagaimana menjadi wanita yang baik. Saya senang memperhatikan bola mata nenek yang telah memudar warnanya karena usia menjadi biru muda keabu-abuan. Meski begitu, penglihatan nenek saya masih cukup tajam untuk melihat siapa yang ada di seberang jalan di luar gang. Setelah bercerita panjang lebar, beliau dengan hati-hati merogoh kutangnya dan mengeluarkan bungkusan dari sapu tangan biru muda dengan garis-garis di sepanjang tepiannya. Ditariknya keluar dua lembar lima ratusan dan menyuruhku membeli bakso dengan rombong warna kuning yang selalu stand by di depan gang. Ya, dua lembar lima ratusan untuk dua mangkok bakso. Sangat murah kan?
Kadang di malam hari saya menemani beliau menonton tivi, lalu beliau masuk kamar dengan terseok-seok dan memanggil saya untuk menginjak-injak punggungnya. Memang, nenek saya tergolong hebat, dengan usia yang sudah tidak muda seperti itu beliau masih kuat untuk merasakan injakan di punggungnya. Meskipun badan saya memang terbilang kurus untuk anak seusia saya, tapi tetap terasa agak menakutkan untuk menginjak-injak (dengan maksud pijatan) punggung seorang wanita renta. Tetapi ya, itulah nenek saya. Lalu setelah dirasanya cukup, beliau menyuruhku menyudahi injakan dan beliaupun segera merogoh bawah bantal, tepat bungkusan sapu tangan itu. Beliau menyodorkan selembar uang ribuan padaku sembari berkata, “Buat jajan besok di sekolah ya”. Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih lalu beranjak pulang karena setelah diinjak-injak (a.k.a dipijit) nenek pasti tertidur.
Rumah kuno itu menyimpan berjuta kenangan tentang bagaimana nenek menjalani masa-masa tuanya bersama beberapa cucunya yang selalu merecokinya dengan pertengkaran-pertengkaran kecil. Saya ingat ketika nenek marah besar tatkala mengetahui saya dan dua orang sepupu laki-laki saya membuat hujan salju dari robekan-robekan kertas kecil. ‘Salju’ itu kami tempatkan di sebuah keranjang kecil lalu kami gantung di dahan terendah pohon mangga di halaman menggunakan tali. Dengan semangat kedua sepupu saya meniupnya sambil memutar-mutar keranjang tersebut uang mengakibatkan ‘salju’ itu berhamburan ke mana-mana. Dan saya dengan senang hati berjingkrak-jingkrak menari di bawah hujan salju itu. Setelah merasa bosan, kami pun melenggang masuk untuk menonton tivi. Tak disangka nenek marah besar melihat salju berkeleleran di halamannya, yang ternyata baru selesai di sapu! Bisa ditebak apa yang terjadi kemudian; kami bertiga menyapu salju itu diiringi omelan nenek kami. Sungguh menyenangkan mengingat masa-masa itu. Masa ketika rumah kuno itu berdiri tegak dengan sejumlah tikus menghuni plafonnya, dengan lantai keramik putihnya yang selalu licin di sapu nenek, dengan lorongnya yang dingin dan kadang terasa menyeramkan.masa ketika setiap hari raya Idul Fitri kami dan semua kerabat selalu berkumpul di rumah itu seusai sholat Ied. Kami semua bergiliran sungkem ke nenek dan saling bersalaman satu sama lain, lalu saya dan beberapa sepupu yang seumuran mulai mendapatkan apa yang diharapka; uang angpao. Rumah itu selalu ramai saat hari raya seperti itu, anak-anak kecil berebut kue kering dan angpao, orang-orang dewasa sibuk bermaaf-maafan dan bercengkrama dengan orang-orang yang mereka kenal yang telah lama tak berjumpa. Masa-masa yang sangat menyenangkan.
  Entah kenapa walaupun bersih dan rapi, saya tidak pernah kerasan untuk menginap di sana. Pernah suatu waktu saya terpaksa menginap di sana karena rumah bapak saya sedang di bangun di beberapa sisinya. Akhirnya saya menginap di rumah nenek dan tidur bersama seorang kakak saya. Sebelum tidur kami bercanda ngalor ngidul, lalu beberapa menit kemudian terdengan dengkur lembut kakak saya, tinggallah saya sendirian berkedip-kedip menatap plafon yang penuh dengan suara gaduh para tikus yang mungkin sedang memperebutkan makanan. Tik,tik,tik, detik jam dinding menemani saya yang masih terjaga, tidak tahu harus berbuat apa. Kamar itu terasa dingin, sunyi dan menyeramkan, membuat saya merasa tidak nyaman, khas sekali rumah kuno. Sampai beberapa jam saya tetap terjaga, membolak-balik tubuh saya ke kiri ke kanan, menebak-nebak adakah seseorang atau sesuatu yang sedang menatap saya. Kamar itu dingin karena atap rumah itu tinggi, dindingnya pun terasa lembab, tetapi badan saya basah kuyup karena keringat. Akhirnya, entah pukul berapa, saya pun terlelap karena kelelahan menahan tubuh saya yang tegang dan berdebar-debar. Setelah itu saya tidak mau lagi menginap di sana, hahahaa…
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nenek bisa melewatkan hari-harinya sendirian di rumah itu. Nenek saya memang berkeras untuk tetap tinggal di sana, padahal beberapa kerabat, termasuk bapak saya, menawarkan nenek untuk pindah dan tinggal bersama. Nenek tetap bergeming. Rumah itu seakan tidak bisa dipisahkan dari hidupnya. Oleh karena itu saya sering mengunjunginya dan menemani nenek sampai malam, sampai beliau terlelap dan menyuruhku pulang. Beliaupun selalu mencuci sendiri baju-bajunya (kebaya dan kain jarik / sewek dalam bahas Jawa), padahal beliau harus menimba dulu dari sumur di dekat dapur. Tetapi beliau malah marah bila dilarang mengerjakan semuanya itu sendiri. Lalu kerabat saya memasangkan sebuah pompa air demi mempemudah pekerjaan nenek, tapi pompa itupun hanya dipakai sesekali saja oleh nenek. Hhh….benar-benar wanita yang keras kepala yah..
Lalu suatu waktu, mungkin karena merasa sudah terlalu tua, nenek sewring menginap di tante saya diantar dengan becak langganannya, dengan alasan mau menemani tante karena memang suaminya baru meninggal. Akhirnya nenek pun memutuskan tinggal di sana dan semua barangnya dipindahkan ke rumah tante. Praktis, rumah kuno itu terbengkalai, tidak ada yang menempati. Beberapa tahun berlalu, rumah itu menjadi semakin sunyi dan menyeramkan, tidak seperti saat nenek masih di sana. Kayu-kayu penyangga atapnya mulai rapuh dan plafonnya berjatuhan di lantai keramik putih yang dulunya selalu mengkilap. Sumur di dekat dapu ditumbuhi lumut tabal dan sarang laba-laba menghiasi setiap sudut rumah itu. Pohon mangga di halamannya juga telah dipotong oleh bapakku karena memang sudah tua dan berbahaya karena sewaktu-waktu bisa saja roboh. Sangat menyedihkan melihat kondisi rumah itu mengingat berjuta kenangan yang merembes di seluruh dindingnya.
Suatu hari terdengar kabar menyedihkan, nenek tersayang saya menutup usia setelah seminggu berada di rumah sakit daerah. Nenek menderita stroke dan entah setan apa yang merasuki, semua anak-anak nenek saya ini saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab untuk merawat beliau. Saya sempat menjenguknya di rumah sakit. Air mata meleleh saat melihat mata biru muda keabu-abuan itu terkatup lemah, tubuh gemuk dan lincah yang dulu kini berubah menjadi lemak menggelambir yang tergolek tak berdaya di atas kasur rumah sakit. Beberapa hari setelah saya menjenguknya, nenek pergi meninggalkan kami samua. Ada rasa lega dan sedih yang bercampur di hati saya. Lega karena nenek tidak perlu lagi merasa kesakitan dan sedih melihat anak-anaknya saling tuding atas keadaannya itu. Sedih karena itu berarti saya tidak lagi bisa menikmati semangkuk bakso bersama wanita gemuk bermata kelabu itu, tidak bisa lagi mencabuti ubannya lalu mendapat upah lima ratus rupiah. Tetapi saya sudah mengikhlaskan kepergiannya, karena saya yakin itu memang yang terbaik untuk beliau.
Kemudian, siang itu tanpa sengaja saya melewati rumah itu. Tua dan bobrok, dengan tanaman markisa yang menjalar liar di sepanjang pagarnya. Beberapa asbesnya mengelupas dan terjatuh di lantai putih itu, cat di kusennya pudar dan kusen-kusennya yang dulu kokoh pun keropos dimakan rayap. Pohon mangga yang dulunya gagah dengan buahnya yang sangat menggoda iman, kini diam tak bergerak menjadi potongan-potongan kayu besar di pojok halaman rumah itu. Jendela-jendela dengan tirai putih yang dulu selalu terbuka lebar kini tertutup rapat dan beberapa daun jendelanya hampir patah. Seakan rumah tua itu menandakan kehancuran keluarga kami, beberapa kerabat mulai terpecah-pecah dan saling acuh malah cenderung bermusuhan. Sedih sesungguhnya melihat keadaan itu, kenangan manis di masa kanak-kanak pun hangus entah ke mana. Tak ada lagi bermain bersama saudara di rumah itu, tak ada lagi keriuhan tawa anak-anak belajar naik sepeda di selasar gang itu. Tak terasa setitik air mata jatuh dari sudut mata saya saat melihat teras samping rumah itu, yang dudlunya tempat kami bersenda gurau bersama nenek dan para tetangga, hening sunyi senyap. Kini, tak aka nada lagi acara berkumpul bersama sanak saudara setiap hari raya Idul Fitri di sana. Semuanya pergi entah ke mana, kesibukan yang padat dengan cepat meniup potongan-potongan kecil kenangan manis tentang rumah itu.
Terkadang saya masih berharap melihat nenek tengah duduk di bangku itu dan menyambut kedatangan saya dengan senyumnya yang lucu tanpa satu gigi pun tertinggal di mulutnya. Tetapi yang ada hanyalah  hembusan angin sunyi yang menandakan kehampaan rumah itu. Ah, sungguh perih rasanya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar